Kurelakan Hati Ini Demi Bahagiamu

Kurelakan Hati Ini Untuk Bahagiamu

 

cerpen-cinta

“Berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu yang kudamba hanya kamu ... kamuu ... kamuuu ... huhuhuu.” Nyanyian Hanin memecah suasana pagi di kampus yang masih sepi. Seorang mahasiswi yang tengah sibuk menepuk-nepuk pipinya dengan spon bedak mengernyitkan wajah ketika mendengar suara cempreng Hanin.

Wajah Nindi memerah. Rahasianya memang terbongkar beberapa hari lalu, dan itu semua karena keteledorannya meletakkan buku harian begitu saja di rumput. Ia tidak sadar kalau Hanin dari tadi mengintainya, ingin tahu apa yang dilakukannya. Tingkat kekepoan Hanin yang tinggi memang cukup merepotkan dirinya. Cewek manis itu memanfaatkan kelengahannya. Ia menyambar buku harian dan membaca isinya dengan nyaring tanpa rasa bersalah. “Astaga! Kamu naksir Bara?? Serunya waktu itu. Suara Hanin yang tinggi bahkan sanggup membuat beberapa cowok menoleh ke arah mereka. Kejadian hari itu membuat Nindi tidak tenang, ia merasa jadi penjahat paling jahat di muka bumi ini. Ia jahat karena diam-diam menyimpan rasa pada teman yang paling dekat selama ini.

“Tenang ... cinta itu bukan dosa ...,” ucap Hanin sambil mengempaskan badan di samping Nindi.

Nindi merebut buku catatannya dari tangan Hanin, lalu pura-pura sibuk membereskan buku yang berserakan di rumput. Setelah sanggup menguasai rasa malunya Nindi pun berdiri sambil menepuk-nepuk pantatnya, mengenyahkan rumput setengah basah yang menempel di celana. “Cinta memang bukan dosa. Dosa itu ketika menyimpan rasa tanpa pernah diungkapkan,” celetuknya ringan.

Hanin menatap dalam-dalam mata Nindi, lalu tersenyum lebar. Entah apa maksud dari senyuman Hanin itu, tapi Nindi seperti menangkap sebuah cerita, cerita yang akan mengubah kisah cintanya yang diam-diam.

***

 

“Emang kebiasaan Si Nindi tuh, huh!” keluh Bara kesal. Tangannya sibuk menyingkirkan semak-semak yang menjorok menghalangi jalan setapak. Beberapa kali tangan kirinya menepuk wajah dengan keras, mengusir nyamuk hutan yang gembira mendapatkan kulit penuh keringat. “Ih, sialan!” seru Bara kesal. Menampar pipinya sendiri dengan keras.  Bara puas melihat badan nyamuk yang gepeng di telapak tangannya.

Ia kehilangan jejak Nindi satu jam yang lalu. Entah kenapa cewek itu selalu mendadak hilang di tengah hutan. Ketika kesabarannya sudah nyaris hilang, baru Nindi muncul dengan cengirannya yang khas. Tanpa rasa bersalah tentunya. Harusnya Nindi tahu kalau ia dibebani tanggung jawab oleh keluarganya, terutama Om Dan, ayah Nindi.

“Pokoknya om percaya sama kamu, Bara. Kamu pasti jagain Nindi, dan bawa ia pulang sehat dan selamat.”

Kalimat itu bagaikan ultimatum yang harus dijalani, harus ditepati. Bara selalu berusaha menepati janjinya untuk menjaga Nindi dan membawanya pulang dengan selamat. Walaupun janji itu tidak pernah terucap langsung dari bibirnya, tapi ia paham dan selalu ingat perkataan Om Dan.

“Awas kalo ketemu kamu yah, Nin,” gerutu Bara. Ia sudah berhenti berteriak-teriak memanggil Nindi setengah jam lalu. Tenggorokannya kering, dan air di botol minumannya hampir kering.

 

Sungai, bebatuan kali, angin, burung-burung, aliran air yang menggelitiki betis ... Nindi menarik napas dalam-dalam. Udara segar memenuhi paru-parunya, membersihkan lubang hidung dari kotoran akibat polusi kota. Mata Nindi jadi jernih, penat di kepalanya juga hilang. “Love this,” bisiknya lirih, “Love you ...,” bisiknya lagi. Tangannya kembali menorehkan irama puisi di lembar catatannya.

Entah dari kapan, hanya saja hati ini tak kuasa berdusta saat ini. Kepada berdepa-depa angin yang mengendarai langit, kumaktubkan rasa ini hanya untukmu seorang.

NINDI!!

Teriakan Bara sangat keras, nyaris saja buku dan foto di pangkuannya jatuh ke sungai. “Hei, Bro!” Ia menyahuti riang ketika melihat cowok itu di seberang sungai, pura-pura tidak paham kekesalan Bara.

“Hai hei, hai hei. Kamu ini kebiasaan amat yah, ngilang-ngilang terus?!” Bara menghampiri Nindi. Kakinya lincah melompat dari satu batu ke batu yang lain. “Nyadar enggak sih kalo dicariin?” tanya Bara emosi, jarinya menjentik hidung Nindi yang bangir.

Nindi menghindari tonjokan Bara di bahunya. “Nyari pemandangan, Broo ...,” serunya riang, mengindari tatapan curiga Bara. Lalu dengan cepat menyelipkan buku kecilnya ke balik jaket.

“Ngapain nyari pemandangan di sini? Di atas tuh yang bagus banget!”

“Beneran gitu bagus?” tanya Nindi, pura-pura tidak menyadari.

Best friend enggak pernah boong!” sahut Bara. Cowok itu memberi isyarat agar Nindi mengikutinya. “Ngerepotin mulu dah!”

Nindi nyengir. Cengiran yang khas di mata Bara. Lesung pipi Nindi yang membuatnya jadi tampak beda. Nindi kemudian mengikuti langkah Bara yang lebar-lebar. Menyusuri jalan setapak menuju puncak gunung. Jalannya sudah tak asing bagi mereka berdua sebenarnya. Nindi dan Bara memang sering hiking bareng. Hampir setiap satu bulan sekali mereka melakukannya, dan Nindi memang sangat menantikan momen seperti ini. Momen dimana ia bisa berduaan saja denga Bara.

Hampir setengah jam mereka menanjaki jalan setapak ketika akhirnya sampai juga di tanah datar untuk berkemah. Mereka kemudian sibuk mengeluarkan tenda dari kantungnya.

“Yang lain ngemah di sono yah?” tanya Bara sambil menunjuk arah utara. Memang terlihat ada asap di balik pohon-pohonnya.

“Iyalah. Lebih banyak pohon buah-buahannya di sono,” celetuk Nindi. “Bantuin pegangin tiang dong, Broo!” tangannya sedang susah payah menahan keseimbangan tiang untuk bagian teras tenda.

Bara nyengir, lalu dengan sigap mengambil alih tiang dan menancapkannya di tanah. Sedangkan Nindi mengambil tiang yang satunya, lalu menancapkannya ke tanah juga. Tenda sudah siap dihuni dengan sekat buatan dari handuk di tengahnya. Walaupun Bara selalu protes karena tenda jadi sempit, Nindi tetap saja selalu memasang sekat handuk itu.

“Buat jaga privasi, Bro,” ucapnya selalu pada Bara ketika protes.

Kebiasaan ini juga yang jadi nilai lebih buat Nindi. Ia sangat menghargai dirinya yang perempuan. Bara sangat menghormati masalah privasi yang sering diajukan Nindi sebagai alasan untuk melindungi kehormatannya sebagai perempuan. Nindi juga tidak segan-segan menyatakan dirinya bernilai lebih dari cewek lainnya. Menurutnya lebih baik dinilai ketinggalan zaman daripada dianggap murahan.

Keduanya kemudian mengumpulkan ranting-ranting kering untuk api unggun. Diam-diam Nindi memandangi Bara yang tengah sibuk menyusun ranting-ranting kecil. Sebenarnya ada beribu pertanyaan yang ingin ia ajukan dari tadi. Tapi Nindi tak ingin merusak suasana kebersamaan sewaktu menjelajahi hutan tadi siang. Bercanda, saling cerita, bahkan saling ejek, sebuah momen yang selalu ia nantikan setiap bulannya.

“Panci mana panci?! Bara berseru-seru, meminta panci air.

Nindi terenyak, terjatuh ke alam nyata lagi. Buru-buru diisinya panci dengan air dari botol mineral yang mereka bawa. “Kayaknya aku lupa bawa kopi deh.” Tangan Nindi sibuk merogohi saku-saku di celana gunungnya. Memang kebiasaannya mengantungi kopi sachetan di saku celana kalau pergi kemana-mana.

“Iyalah pasti, udah nenek-nenek pan,” seloroh Bara sambil merendahkan kepalanya, menghindari timpukan ranting yang dilempar Nindi. “Tenaang ... ada kopi di hati, eh di taskuuu!” Bara menyodok ranselnya dengan kayu. Meyakinkan Nindi kalau di saku depan ransel ada bungkusan kopi.

Nindi nyengir, lalu duduk di samping Bara. Memperhatikannya menuangkan isi bungkusan berwarna hitam pekat ke dalam panci. Tak lama kemudian aroma kopi menyandera alam sadarnya di tengah hutan. Membawa pikiran Nindi ke sudut-sudut rahasia yang paling rahasia. Serahasia hatinya yang menyimpan harta karun rasa pada Bara. Aku suka saat seperti ini, hanya aku, kamu, dan angin.

“Minum. Entar keburu dingin.” Bara mengedikkan kepalanya ke arah cangkir kaleng berisi kopi panas yang sengaja diletakkannya di atas batu dekat Nindi.

Nindi meraih cangkirnya, menyesap dalam-dalam aroma kopi yang menguar lembut. Udara lembab hutan sedikit terasa hangat ketika uapnya menyentuh wajah Nindi. Ketika aliran hangat membasahi tenggorokan, Nindi telah mengumpulkan setengah keberaniannya untuk bertanya pada Bara. Sesuatu yang mengganjal di hatinya selama hampir tiga minggu ini. Kecurigaan yang mencuat karena tingkah laku Bara yang tidak biasanya. Akhir-akhir ini cowok itu memang sering menyelinap ke sudut kelas, lalu sibuk dengan hapenya. Nindi sering tiba-tiba kehilangan Bara ketika di kelas, di kantin, di teras gedung kampus, dan di tempat-tempat lain ketika mereka sedang berdua. Jadi bisa dikatakan, kebiasaan menyelinap dan menghilang cowok itu telah menggelisahkan hatinya.

Nindi sudah siap memuntahkan semua pertanyaan yang ada ketika Bara ternyata malah mendahuluinya bicara. “Bentar Nin, mau ngomong sesuatu nih.” Bara menjawil pipi Nindi cepat-cepat ketika dilihatnya cewek itu mulai mengerucutkan bibir. Tanda kalau ia ingin menanyakan sesuatu. “Boleh minta tolong enggak?” tanya Bara kemudian tanpa memberi kesempatan cewek itu protes.

Nindi menelan semua pertanyaan yang sudah dikumpulkannya di ujung lidah. Ia pun mengangguk enggan, mengiyakan pertanyaan Bara barusan. Perasaannya langsung tidak enak ketika melihat tampang cowok itu berubah jadi sangat serius. Bara meletakkan cangkir kopinya di atas dahan pohon tumbang yang dijadikan senderan oleh mereka.

“Mmm. Gini, Nin. Kamu bisa, ‘kan, nolongin aku ngomong sesuatu sama Hana?” Mata Bara menatap tajam mata Nindi, menembus retinanya, membuat lubang di kelenjar airmata Nindi.

Nindi mengerjap. Hana? Sebuah palu besar menghantam hatinya, meremukkan rindu terpendam di dalamnya jadi sekecil remahan biskuit. “I-iya. Ngomong apaan, sih?” tanya Nindi. Susah payah ia menekan nada suaranya agar terdengar tenang. Tapi airmatanya nakal, mulai menggedor-gedor pelupuk matanya. Cewek itu langsung pura-pura kelilipan asap api unggun begitu ada satu tetes airmata yang lolos dari matanya.

“Bantuin aku ngungkapin perasaan aku sama Hana, Nin.”

Nindi memegang cangkir kopinya erat-erat. Hatinya jadi sehitam kopi, lesung pipit di wajahnya jadi hilang kemanisannya ketika mendengar kata-kata Bara. Kenapa Hana? Apa aku ketinggalan sesuatu? Setelah beberapa saat bingung, Nindi akhirnya bisa menguasai diri. Ia mengangkat wajah dengan seulas senyum buatan paling manis yang bisa ditunjukkan pada Bara. “Oke. Pasti aku bantuin.” Hana menjawab tegas setelah berhasil mengumpulkan serpihan biskuit hatinya dengan susah payah.

“Beneran? Janji yah?” tanya Bara bersemangat, ingin meyakinkan.

Nindi mengangguk tegas. “Best friend tak pernah ingkar janji!” jawabnya sambil mengukir seyuman paling manis dan lebar sepanjang hidupnya.

Malam kemudian dihabiskan keduanya dengan cerita-cerita Bara tentang Hana. Jadi memang selama ini mereka menjalin kedekatan tanpa sepengetahuan Nindi. Tawa Bara begitu bahagia ketika memperlihatkan foto-fotonya dengan Hana. Nindi juga ikut tertawa. Tawa yang paling kecut di hati. Janjinya malam ini tak pernah dilupakan, bahkan hingga setahun kemudian di cerita yang hampir terulang kembali sekalipun. Semua hanya demi kata-kata Best friend tak pernah ingkar janji.

 

“Fokus yah, Nin!” perintah Bara dari ujung sana. Cowok itu sibuk mengira-ngira posisi agar pas dengan kamera hape yang dipegang Nindi.

Nindi mengangguk pelan. Sungguh ini adalah hal yang paling tidak ingin ia lalui. Dari tadi pagi pun ia berusaha mengumpulkan beribu macam alasan agar tidak ditagih janji oleh Bara. Tapi angin baik sedang berpihak pada Hana. Mau tidak mau ia harus menjalankan tugasnya sebagai kameramen, sekaligus saksi cinta Bara pada Hana.

“Kamu bisa lihat Hana? Aku sampai rela mendaki setinggi ini hanya untuk menyatakan perasaan ini. Aku sayang kamu, Hana.”

Kalimat terakhir akhirnya menjebol pertahanan Nindi setelah sepuluh menit berusaha sabar mengambil gambar Bara yang sedang kasmaran. Nindi menurunkan hape, lalu menghampiri Bara setengah menunduk karena menahan airmata. Diletakkannya hape di tangan Bara dengan kasar. Tanpa mempedulikan seruan keheranan Bara, Nindi cepat-cepat menuruni puncak. Ia ingin segera menjauh dari Bara, ingin menghilang dari cowok tak punya perasaan yang malah menyatakan cinta pada Hana di depan matanya. Ingin rasanya memaki Bara, tapi apa daya, cowok itu tidak bersalah. Ia yang bersalah, berdosa pada dirinya sendiri. Dosa karena menyimpan sebuah rasa.

“Nindi!” seru Bara lagi. “Tunggu, Nin. Mau ke mana? Kamu ini kenapa, Nin?”

Cowok yang tengah kebingungan itu berusaha menyusul Nindi. Langkahnya begitu tergesa-gesa menuruni puncak. Beberapa kali Bara tergelincir karena menuruni tanah dengan cepat. Untung saja tangannya sigap berpegangan pada akar dan dahan yang menjulur. Sementara itu Nindi malah makin mempercepat langkahnya. Ia menuruni tanah kering dengan cepat. Selama beberapa menit tidak dihiraukannya panggilan Bara yang panik. Sampai sebuah suara menghentikan langkah dan jantung Nindi.

Bara kali ini tidak bisa menahan keseimbangan tubuhnya ketika tangannya meleset memegang sulur dedaunan. Tubuh Bara berguling-guling, membentur akar demi akar, lalu terhenti ketika lututnya membentur keras sebuah batu. Suara benturannya begitu keras hingga bisa menghentikan kaki Nindi. Cewek itu tertegun karena kaget. Perasaannya langsung tidak enak begitu mendengar suara Bara yang mengaduh. Nindi memutar langkah dan mulai mencari Bara.

“Ya ampun! Kenapa bisa kaya gini siih?!” Nindi panik ketika melihat Bara terkapar dengan wajah pucat.

Bergegas ia merobek celana Bara dengan pisau lipat. Lutut dan betis Bara bengkak parah. Jantung Nindi mencelos melihatnya. Ia harus cepat-cepat mencari pertolongan sebelum darah di kaki Bara tidak lancar mengalir. Nindi akhirnya berhasil menemukan ranting pohon yang cukup kuat. Ia mengikatkan ranting itu ke kaki Bara yang luka sebagai penopang tulangnya. Dengan susah payah Nindi mengangkat tubuh Bara yang berat. Mereka berdua pun berjalan sangat lambat menyusuri jalan setapak yang kini mulai mendatar.

Lama kelamaan tenaga Nindi habis. Berkali-kali ia dan Bara terjatuh karena tidak bisa menemukan keseimbangan penopang. Akhirnya cewek itu menyerah dan meninggalkan Bara di jalan setapak. Aku harus cari bantuan! Nindi setengah berlari menyusuri jalan tanah itu. Hatinya lega ketika menemukan beberapa pendaki di depannya. Nindi mendapatkan pertolongan setelah menjelaskan kondisi Bara dengan napas memburu kepada dua orang cowok yang berhasil disusulnya itu. Kedua cowok itu lalu mengikutinya memutar arah ke tempat Bara ditinggalkan sebelumnya. Bara sangat lega ketika melihat Nindi datang dengan bantuan. Mereka berempat akhirnya berhasil sampai ke tempat pos penjagaan dengan cepat. Sepanjang jalan tadi Bara ditandu manual oleh kedua pendaki yang baik hati itu.

 

Bara kelelahan karena luka di kakinya. Wajahnya sangat pucat, tidurnya pun gelisah. Berkali-kali Nindi memperhatikan Bara menggerak-gerakkan kepalanya sambil mengigau. Ada sepucuk surat berisi diksi-diksi rindu yang menyesakkan di hati Nindi. Riakkan kalimatnya berkali-kali bergelombang dan membentur sisi kewanitaannya. Begitu berat, begitu ingin diungkapkan, tapi bibir Nindi membiru di senja yang dingin. Entah sudah berapa kali tangannya dipasung oleh kekakuan hati untuk tidak menyentuh wajah Bara. Tapi kerinduan dan rasa cemas begitu membahana, tak kuasa diri Nindi menahan sepi tanpa Bara. Tanpa sadar tangannya pun bergerak, menyapu rambut-rambut kecil di wajah pucat Bara. Nyaris saja tubuhnya ingin meluluhlantakkan diri di dada Bara, nyaris saja ... hingga kemudian ia mendengar nama itu keluar dari bibir Bara.

“Hana ... Hana ... Hana ....”

Berulangkali Bara menyebut nama teman dekatnya itu. Berulangkali pula palu besi menghantam hatinya. Menjadikannya serpihan yang makin pipih. Menjadikannya pedih paling nyata dan tak dapat dipungkiri. Bahkan di saat tak sadar pun yang diingat alam bawah sadar Bara hanyalah Hana. Nindi tahu, masa keemasannya bersama Bara harus berakhir. Kini saatnya ia memberikan singgasana itu pada ratu yang sesungguhnya. Pada Hana yang selama ini menghias hati Bara.

Gamang ... Nindi kemudian meraih hapenya dari dalam tas. Menekan beberapa angka yang diyakininya nomor telepon Hanin. “Hanin?” tanyanya gugup, takut salah pencet nomor. Sebuah suara yang sangat dikenal cewek itu terdengar menjawab di seberang sana. “Aku bisa minta tolong, Han?” tanya Nindi lagi.

 

Pagi esok harinya sebuah mobil datang sekitar pukul sembilan. Baru juga mobil itu berhenti, sedetik kemudian pintu depannya langsung terbuka. Seorang cewek cantik dan modis turun cepat-cepat dan berlari ke arah pos penjagaan. Itu Hana. Dia memang cantik, baik, dan anggun. Pantas saja Bara menyukainya. Hanin tak lama kemudian menyusul turun dari mobil. Cewek itu melambaikan tangan pada Nindi yang membalasnya dengan senyum dipaksakan.

Hanin terdiam. Sepanjang jalan batinnya berkelahi mendengar cerita-cerita Hana. Jadi selama ini cewek itu dengan Bara telah dekat, malah pernah jalan bareng beberapa kali. Lalu gimana Nindi? Gimana hatinya? Hanin menggigit bibirnya, berusaha keras tidak mengomentari setiap cerita ceria yang keluar dari bibir Hana. Astaga, cinta bertepuk sebelah tangan, desah Hanin prihatin.

Ini nyata, desah Nindi. Bara begitu lepas tawanya ketika bercanda dengan Hana. Tawanya sama ceria ketika sedang bersama dirinya, tapi tak sehangat saat ini, tak seperti tawanya pada Hana. Hana memang cantik, dan ia selalu menimpali cerita Bara dengan santun. Nindi tersenyum mendengar tawa Bara yang lepas. Pasti mereka sedang mengingat cerita-cerita lalu, pikir Nindi. Entah bagaimana senyuman itu bisa terukir di wajahnya. Sementara di sana Bara tengah bersuka ria, bercanda dengan Hana yang dicintainya. Lalu bagaimana dengan rasaku?

Nindi menepis tangan Hanin yang menyentuh lembut bahunya. Ia tahu harus merelakan semua. Bagi Bara ia tetap hanya teman, hanya sahabat sejati. “Bye, Han,” ucap Nindi pada Hanin yang masih memandanginya penuh khawatir.

“Mau ke mana? Hei, Nin! Mau ke mana?” Hanin berusaha meraih lengan Nindi. Tapi cewek itu lagi-lagi menepis tangannya.

Nindi memutar badannya, melangkah lebar-lebar, meninggalkan semua. Bara, Hana, Hanin, semua. Senyum di wajahnya memudar, beralih ke tetesan airmata. Kini Nindi membiarkannya, menyerah pada kenyataan, menerima jikalau airmata itu memang sudah seharusnya berjatuhan. Sebagai tanda rasanya yang harus dikubur dalam-dalam. Sebagai tanda dosanya pada rasa yang tak pernah sempat diucapkan. Nindi mengeluh, tangannya menggenggam erat buku dan foto.

“Sudah selesai,” desah Nindi, “bye, Bara.”

Hanin tak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu Nindi sedang patah hati dan ingin sendiri. dipungutnya foto Bara dan Nindi yang tergeletak di rerumputan basah. Ia jadi ikut tersenyum lebar melihat kedekatan Bara dan Nindi di foto itu. Mereka berdua sedang tertawa bersama, di dekat api unggun yang baru dipadamkan, dan asapnya masih terlihat mengambang di antara keduanya.

Baru kusadari cintaku bertepuk sebelah tangan ... kau buat remuk seluruh hatiku ... seluruh hatiku ....

 

 

Terinspirasi dari Lagu “PUPUS” cover by Hanin Dhiya

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Waaah jadi ikutan patah hati euy xixixi.... Noted ya: jangan patah hati di hutan, bisa celaka besar 😁😄😆

    BalasHapus
  2. Estimates of the house edge for blackjack games quoted by casinos and gaming regulators are based mostly on the assumption that the gamers comply with primary strategy. Dealers deal the cards from one or two handheld decks, from a dealer's shoe, or from a shuffling machine. The gamers' initial cards additionally be} dealt face 코인카지노 up or face down (more frequent in single-deck games). If you might be} dealt two cards of the identical value, you might split the cards into two separate hands and play each hand individually.

    BalasHapus

Halo, dilarang spam yah. Maaf, kalau ada komentar tidak pantas mimin bakal langsung hapus.