Go to Zero Waste School, Mengolah Sampah Jadi Berkah

Go to Zero Waste School, Mengolah Sampah Jadi Berkah




Teringat waktu itu saya mendapat undangan acara dari komunitas. Walalupun jaraknya cukup jauh saya tetap memaksakan diri datang karena tema acaranya menarik tentang enterpreuneurship. Berhubung masih ada turunan jiwa jualan jadinya pasti semangat menimba ilmu tentang bisnis. Menariknya, ada materi tentang membina jiwa bisnis dari kecil. Pemateri waktu itu memberi contoh lewat kedua anaknya yang dilatih berjiwa usaha sejak dini. Dan yang lebih menariknya lagi, melatih jiwa usahanya itu berhubungan dengan sampah.

Ternyata teman saya itu mengajari kedua anaknya memilah sampah sejak dini. Di rumahnya memang disediakan 3 tempat untuk membuang sampah. Pasti sudah pada tahu kan untuk sampah apa saja? Ketiga tempat yang disediakan itu untuk sampah organik, anorganik dan sampah beracun seperti baterai dan lainnya. Dan anak-anak teman saya itu dibiasakan disiplin membuang sampah sesuai jenisnya.

Uniknya, di rumah mereka juga ada bank sampah. Sampah seperti tetrapak, kaleng bekas minum, dus dan lainnya kalau ditabung ternyata lumayan harganya. Kedua anak teman saya itu dilibatkan dalam semua proses, mulai dari pemilahan, menabung sampah, hingga recyle. Kerajinan hasil recyle sampah juga mereka jual lho. Keren sekali, waktu saya sebesar mereka belum ada kesadaran mengolah sampah seperti itu kayaknya. Menurut saya peduli lingkungan memang seharusnya dimulai dari rumah. Anak-anak yang di rumahnya sudah terbiasa memilah biasanya akan lebih peka terhadap lingkungan dan sekitarnya.

Sampah di Rumah, Sekolah, dan Kantor

Tanpa disadari penyumbang sampah terbesar adalah rumah tangga. Terutama yang berasal dari sisa makanan yang dikonsumsi juga sampah dari sisa pengolahan alias memasak. Tapi kalau sisa makanan dan sisa bahan memasak ini dikumpulkan lalu di-recycle sebenarnya bisa jadi kompos. Seperti yang kita ketahui kalau sampah itu ada tiga jenis, organik, anorganik, dan sampah residu. Sampah organik mudah terurai, sedangkan anorganik sulit terurai secara alami. Kedua jenis sampah ini dapat diolah kembali menjadi bahan yang bermanfaat bagi kita.

Adapun kertas, dus, karton, dan plastik biasanya jenis sampah yang banyak ditemukan di sekolah dan perkantoran. Di sekolah-sekolah, banyak kertas yang sebenarnya masih bisa digunakan dibuang begitu saja. Maklum namanya juga anak-anak, masih sedikit yang memiliki kesadaran untuk berhemat dan mencintai bumi. Padahal kertas itu bahannya dari pohon. Belum lagi plastik bekas bungkus jajanan. Sampah di sekolah memang biasanya penuh dengan plastik bekas bungkus jajan anak-anak.

Dulu waktu masih sekolah saya sering mengumpulkan kertas-kertas HVS yang masih kosong sebelahnya. Biasanya saya pakai untuk corat coret menghitung soal matematika. Jika sudah penuh kedua sisi kertasnya barulah saya buang. Atau saya potong kertasnya untuk dijadikan notes. Lumayan bisa digunakan untuk catatan walaupun seadanya. Karton dan dus bekas juga sering saya buat kerajinan seperti pigura dan tempat pensil.

Sampah Tanggung Jawab Kita

Saya juga sering melihat diabaikannya tempat sampah yang telah menggunakan konsep pemilahan. Tidak hanya di jalan, di sekolah, di perkantoran, hingga di rumah pun bernasib sama. Apa yang menjadi kendalanya, sehingga tempat-tempat sampah tersebut diabaikan? Sepertinya karena tidak disiplin serta kurang menyadari pentingnya menjaga bumi. Menurut saya, ada anak yang dengan kesadarannya sendiri tidak membuang plastik bekas jajannya sembarangan saja sudah sangat mengagumkan. Setidaknya, anak tersebut telah memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan.

Anak-anak yang disiplin tentang sampah selalu membuat saya kagum. Mereka bisa hebat seperti itu tentunya karena didikan dari keluarganya sendiri. Seperti halnya, Amilia Agustin, seorang anak berusia 14 tahun yang membuat gebrakan pengolahan sampah di sekolahnya. Kegiatan yang dilakukannya berawal dari empatinya yang besar terhadap lingkungan dan orang-orang tak mampu.

Masalah sampah tidak melulu urusan orang dewasa. Seperti halnya yang diyakini oleh Amilia Agustin. Ami yakin kepedulian terhadap lingkungan dapat dibiasakan dari usia dini. Pasti akan terbawa hingga dewasa apabila dari kecil sudah tertanam jiwa peduli pada lingkungan. Dalam mengelola sampah, Amilia  menerapkan prinsip peduli pada lingkungan terdekat serta menanamkan rasa peduli lingkungan sejak dini pada anak-anak.

Amila dapat membuktikan apabila anak muda pun dapat merawat lingkungan. "Semua bisa asal rutin dan konsisten," kata gadis cerdas ini. Ami bersama teman-temannya mendirikan komunitas yang kegiatannya mengelola sampah berbasis sekolah. Tak disangka kepeduliannya terhadap lingkungan ini membuat dirinya meraih penghargaan ASTRA Indonesia SATU Awards 2010.

Di usia muda 14 tahun, Ami membuktikan bahwa anak muda juga bisa berdayaguna dalam hal lingkungan. Ia membuktikan jika usia muda dapat diisi dengan hal yang bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Perjuangan Ami yang dimulai dari lingkungan kecil, yakni sekolah, membuktikan jika lingkungan adalah tanggung jawab tua muda.

Siapakah Amilia Agustin?

Gadis kelahiran 20 April 1996 ini ternyata beralamat tak jauh dari rumah saya di Jalan Kopo Bandung. Tentu saja saya sebagai orang Bandung merasa bangga ada warga satu kampung yang mendapat penghargaan ASTRA. Ditambah lagi satu almamater dengan saya di SMP XI Bandung, tentu saja tahun angkatan saya lebih tua dari beliau ini. Sebagai yang tua saya jadi merasa tersentil dengan kegigihannya dalam merawat lingkungan. Belum lagi empatinya yang tinggi, sehingga membuahkan pemberdayaan para ibu untuk mendaur ulang sampah jadi barang yang berguna.

Kegigihan Amilia dan teman-temannya berlanjut dengan pengajuan proposal program Karya Ilmiah Remaja dari kelompok Go To Zero Waste School kepada program Young Changemakers dari Ashoka Indonesia di tahun 2008. Proposal tersebut membuahkan bantuan operasional sebesar 2,5 juta rupiah. Ami dan teman-temannya kemudian bekerja sama dengan Bank Mitra Syariah mendirikan bank sampah. Adapun biaya operasional bank sampah berasal dari biaya patungan anggotanya.

Program Go To Zero Waste School sendiri terdiri dari empat bidang, yakni pengelolaan sampah anorganik, pengelolaan sampah organik, pengelolaan sampah tetrapak, dan pengelolaan sampah kertas. Dari empat bidang pengelolaan ini Ami dan kawan-kawan dapat membuat tas serta kompos. Untuk sampah tetrapak, Ami bekerjasama dengan YKI, satu kilo kemasan bekas ditukar dengan 5 buku catatan dari tetrapak.

Kisah si Ratu Sampah

Amilia disebut si ratu sampah karena mendedikasikan waktu dan kegiatannya pada gerakan peduli lingkungan. Tahun 2010 Amilia mendapat undangan ke Jakarta sebagai kandidat penerima penghargaan SATU awards 2010. Pada saat itu ia jadi kandidat termuda di usia 14 tahun. Kata Amilia, orang-orang sempat mengira yang jadi kandidat itu mamanya. Hingga saat ini rekor kandidat termuda yang disandangnya  masih belum tergeser. 

Prestasi yang diperoleh di bidang lingkungan tersebut berawal dari keresahannya ketika melihat seorang bapak makan di dekat gerobak sampah tak jauh dari sekolahnya. Ami gelisah dan merasa berdosa, "Jangan-jangan sampahnya berasal dari sekolahku." Ami lalu curhat pada Ibu Nia, guru ektrakulikulernya di Karya Ilimah Remaja. 

Waktu itu Ami benar-benar bertanya karena ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Sedangkan hatinya berteriak-teriak ingin berbuat sesuatu tentang sampah ini. Bu Nia kemudian menyarankan Ami mendatangi YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi yang berkegiatan di bidang pengomposan dan pengolahan sampah. Ami dan beberapa temannya mulai rutin belajar di YPBB. Hingga akhirnya mereka terinspirasi untuk memilah sampah organik dan anorganik di sekolah.

Go To Zero Waste School

Mulailah Ami dan teman-teman menyediakan kardus-kardus untuk sampah di tiap kelas. Awalnya usaha mereka ini diremehkan. Bahkan kardus tempat sampah saja sering ditendang oleh anak yang main bola. Ami sempat membungkus kardus tempat sampah dengan kertas kado agar terlihat lebih rapi. Tapi tetap saja usahanya itu belum mendapatkan dukungan sepenuhnya dari teman-temannya. Usaha yang dimulai pada tahun 2008 ini rupanya akan tak mudah jalannya. 

Hingga kemudian Ami punya ide untuk mengkampanyekan pemilahan sampah pada MOS (Masa Orientasi Sekolah). Ami juga membentuk subdivisi baru ekstrakulikuler yang berkegiatan pengelolaan sampah di sekolah. Subdivisi itu dinamai "Sekolah Bebas Sampah" alias "Go To Zero Waste School". Anggota subdivisi ini perlahan bertambah hingga 10 orang. Bu Ani kemudian berinisiatif untuk mengajak Ami mengkampanyekan programnya di berbagai acara sekolah. 

Penghargaan Astra SATU Indonesia Awards

Kegiatan Ami dan teman-teman makin bertambah. Mereka me-recycle sampah menjadi barang-barang berguna. Di kelas 9 Ami mengetahui jika temannya berasal dari keluarga yang tidak mampu. Ami pun memberdayakan ibu dari temannya tersebut untuk mendaur ulang sampah. Ami kemudian mengajak dan mengajari ibu-ibu cara membuat tas dari bekas bungkus kopi. Hasil kerajinan para ibu tersebut kemudian dipasarkan di stan pada saat pembagian rapor.

Melihat kegigihan Ami dan teman-teman, Bu Ani kemudian berinisiatif mendaftarkan mereka pada program Astra SATU Indonesia Awards 2010 pada bidang lingkungan. Ami setuju-setuju saja ketika ditawari oleh gurunya itu. Ia mengira itu semacam lomba yang diadakan oleh sekolah.

Tak disangka Ami dan kawan-kawan lolos tahap administrasi. Ami berhasil meraih penghargaan Astra SATU Indonesia Awards 2010 di bidang lingkungan. Hebatnya lagi, Ami ternyata jadi peraih penghargaan termuda. Ami menggunakan uang hadiahnya untuk membeli mesin jahit. Mesin jahit itu untuk digunakan ibu-ibu mendaur ulang sampah.

Sekolah Bebas Sampah yang dirintisnya bersama teman-teman tetap berjalan hingga kini. Ami bersyukur program itu tetap berjalan meskipun ia sudah tidak berada di sekolah. Lulus SMP dan menjadi siswi SMA XI Bandung, Ami semakin aktif berkegiatan positif seperti kelompok ilmiah remaja. Ami juga aktif di matematika club, Komunitas Sahabat Kota, Balad Kuring, Kebunku, serta Archipelago. Kepeduliannya terhadap lingkungan tidak lantas berhenti begitu saja. Ami tetap rajin mengkampanyekan tentang sampah di sekolah dan masyarakat.



Berlanjut Hingga Jenjang Kuliah

Menariknya, kegiatan Ami berlanjut hingga ia kuliah di Universitas Udayana. Ia membentuk komunitas Udayana Green Community di kampusnya. Komunitas tersebut berkegiatan menyosialisasikan pentingnya lingkungan hidup dalam kegiatan mengajar di tingkat SD dan SMP di Denpasar.

Amila dan kawan-kawan juga mengadakan pemberdayaan masyarakat. Mereka memberikan pelatihan pada warga untuk melakukan pengolahan sampah di sejumlah desa. Kegiatan Amilia ini membuktikan bahwa hal baik yang telah tertanam sejak dini pasti akan terbawa hingga dewasa nanti.


Masalah sampah memang takkan pernah selesai apabila tidak kita sendiri yang menyelesaikannya. Alias harus tumbuh dari kesadaran sendiri tentang pentingnya menjaga lingkungan. Dan kesadaran ini tentunya muncul dari pembiasaan baik yang berawal dari keluarga. Menanamkan cinta lingkungan sejak dini pasti berdampak hingga dewasa nanti. Cukup dimulai dari memberi contoh membuang sampah pada tempatnya. Selanjutnya si anak pasti akan belajar untuk lebih peduli pada lingkungan sekitarnya.




Sumber Foto Google : Viva.co.id

                                      OIP


Posting Komentar

0 Komentar