Kado Untuk Pahlawan: Tiga Tonggak Dari Tiga Lelaki

Kado Untuk Pahlawan: Tiga Tonggak Dari Tiga Lelaki

 

kado-untuk-pahlawan
ywidya.my.id

Andai cerita kehidupan bisa berjalan sesuai skenario manusia, pasti aku akan membuat alur cerita yang lebih mudah dan indah. Sayangnya, langit yang berkuasa akan segala sesuatu dan aku tak bisa menentukan ke arah mana takdir menuju. Tepat seperti yang tengah aku jalani saat ini, sebuah kehidupan penuh liku yang kuyakini takkan ada yang berkehendak untuk melakoni.

Wanita-kodratnya untuk dilindungi, dihargai, dihormati, dan disayangi. Sebuah rentetan pengharapan yang berubah jadi halusinasi setelah menjalani berpuluh tahun kehidupan di dunia. Lemah-itu kata yang tersemat secara tak sengaja di diri ini. Bukan maksud hati merendahkan diri sendiri, tapi memang sempat tertatih dan masih pincang hingga saat ini. Betapa perjalanan hidup yang panjang penuh cerita duka. Diawali dengan kehilangan seseorang yang kerap jadi penguat dikala sedih.

Tak banyak yang tahu seperti apa Papa selalu datang di titik terlemahku. Kematiannya sempat membuatku hilang harapan. Takut akan sendirian mendera bertubi di hari-hari penuh airmata. Tapi apa daya bila kehendak semesta tak serupa dengan keinginan manusia. Hingga satu per satu lelaki di sampingku menghilang. Dua pangeranku pun jauh tak tersentuh seperti di hari saat kita pernah bersatu. Kado untuk pahlawan pantas diberikan kepada mereka bertiga, para lelaki yang tanpa sadar telah menginspirasiku.

 

Kado Untuk Pahlawan, Tiga Lelaki Dalam Hidupku

Mama selalu jadi inspirasi dalam kemandirian, tentu saja aku dibanding dia bagai langit dan bumi. Tak bisa disangkal doa-doanya telah mengguncang langit agar memberi perhatian lebih pada anaknya ini. Namun, ada tiga orang dalam kesendirianku yang tanpa sadar telah jadi pelipur lara. Mereka pernah membuatku terjatuh dan merasa sendirian, tapi sekaligus menjadi sumber inti kekuatan. Aku belajar untuk menepis airmata, menjelmakannya jadi ribuan tenaga untuk menjalani suratan semesta.

Kado Untuk Pahlawan, Papa Tercinta

Lelaki tua itu pernah menjalani hidup diluar dugaan. Dari yang serba ada dan mudah jadi menjalani hidup apa adanya. Yang dari awalnya selalu mengendarai kendaraan pribadi hingga akhirnya mau tak mau menikmati angkutan umum. Sempat Papa terpuruk dan kehilangan kepercayaan diri. Ketakutan terbesarnya tidak lagi mendapat penghargaan dari keluarga. Sesuatu yang sebetulnya tak perlu ada karena aku tak pernah menilainya dari harta. Butuh waktu lama untuk mengembalikan kepercayaan diri Papa padahal ia sangat pintar. Banyak teman yang membutuhkan buah pikirnya untuk memecahkan masalah yang tengah mereka hadapi. Tapi Papa seperti enggan menanggapi. Ia butuh motivasi yang dapat menggerakkan alam bawah sadar bahwa dirinya masihlah berharga, terutama di mataku, putrinya.

Ternyata yang dibutuhkan Papa sebuah pengakuan dari keluarga, dan aku tanpa sadar telah memberikannya. Kebiasaan mengunjungi dan saling berkabar  menjadi semacam healing untuk Papa. Tanpa sadar aku telah memberikan pengakuan yang diinginkannya. Papa berusaha berbuat yang terbaik agar penghormatanku kembali, padahal ia tak perlu melakukannya. Karena di mataku ia tak pernah salah, tapi fase kehidupan yang telah membuat bermacam cerita di luar dugaan. Lalu semua yang diluar dugaan menimpaku. Adalah ujian berat bagiku ketika mahligai pernikahan kandas ke dasar lautan.

Jujur aku mengalami fase kehilangan yang berat. Bukan seperti ini mimpiku tentang pernikahan. Bahagia mirip putri dan pangeran kerajaan nyaris memenuhi  ekspetasiku sebelum dan di awal pernikahan. Berat sekali harus mengakui tak mendapatkan kisah percintaan bak dongeng Cinderella. Bakti yang ternodai akhirnya yang bersuara lebih keras dari penghambaan pada kata ikhlas dan sabar. Perceraian di pelupuk mata, aku pun tersungkur ke bumi meminta ampun karena harus menggadai kata sabar. Aku memilih untuk mundur dan melupakan, biar langit saja yang menyelesaikan semua.

Menurutku, mempertahankan harga diri adalah kekayaan yang harus diperjuangkan. Demi penghormatan pada kata ‘perempuan’, makhluk yang dijunjung tinggi kedudukannya dalam Islam, terpaksa aku menanggalkan bakti pada suami. Tapi ternyata menjalani kisah sesudahnya tak semudah membuka dan menutup pintu. Aku harus mengunci pintu baik-baik agar lukanya tak menyebar masuk. Dan berulang kali membuka tutup pintu baru demi sebuah pengharapan. Semuanya tak mudah, terluka karena cinta membuat lemah sesaat. Ketika luka rasa itu sembuh, aku harus menghalau patah semangat karena perceraian. Benar-benar membutuhkan motivasi besar untuk bangkit dan berkembang. Aku mendapatkannya satu per satu melalui proses pendekatan diri pada yang Maha Kuasa.

Proses yang panjang dan butuh waktu untuk menyembuhkan. Tak mudah menjadi single mom dari dua anak lelaki. Papa tahu benar di saat-saat terlemahku, kerap aku meminta doa darinya dengan mengirim pesan lewat ponsel. Dan ia selalu hadir dikala airmata ini terlalu penuh. Menjemput, mengantar, mendampingi di setiap pertemuan kami adalah aturan yang wajib ia penuhi. Membahagiakan aku dalam bentuk sekecil apapun merupakan upaya penebusan dosa baginya. Papa memberiku banyak nasehat tentang pasrah dan ikhlas. Pesannya jangan pernah meninggalkan salat, apapun dan dimanapun juga kita berada. Ikhlas menjalani kehidupan, dan tulus menolong orang yang membutuhkan adalah prinsip dasarnya.

Sebuah pukulan bagiku kala Papa meninggalkan dunia fana. Luka akibat perceraian yang belum tuntas tertimpa luka baru yang akhirnya makin melebar seiring perjalanan hidup, bahkan hingga kini. Aku menjalani hari-hari penuh airmata dan tak menerima, mengapa aku harus ditinggal sendiri di dunia? Hari-hari panjang harus kulalui hingga akhirnya dapat menerima sedikit kenyataan yang ada. Lambat laun sedihnya bisa menepi dan berubah jadi keberanian. Takut karena ditinggal sendiri ternyata malah menempaku belajar kuat dan sabar. Toh, nanti di akhirat pun akan sendirian, justru itulah ketakutan yang seharusnya, bukan ketika masih berada di dunia ini. Nasehat Papa untuk selalu dekat pada Allah dapat kupahami kini. Memang tak ada pelindung sebenar-benarnya selain Allah.

Didikan Papa selama menemani rasa sepi menjadi single mom tentang kepasrahan diri pada Ilahi benar-benar membekas. Tanpa disadari, Papa telah mengarahkanku untuk selalu optimis dan tidak gampang menyerah. Saat ini pun di masa penuh ujian aku bersyukur karena bercermin pada sikapnya selama masih hidup. Papa tak pernah mengeluh, lelahnya hanya terlihat di hamparan sajadah. Ia tak pernah malu untuk tampil sederhana, tapi selalu penuh arti. Karena di hari-harinya selalu dihiasi oleh kebaikan, menolong yang patut ditolong. Papa pahlawanku dalam menyikapi kehidupan. Inspirasi tertinggi belajar tentang penghambaan diri pada yang Maha Kuasa. Hingga kini, seberat dan serapi apapun juga rencana manusia, tetap Allah pembuat skenario sesungguhnya. Dan kita hanya mampu menjalani saja tanpa bisa mengedit. Papa yang mendidik aku untuk selalu yakin dengan pertolongan dan keadilan Allah.

 

Kado Untuk Pahlawan, Si Sulung Jagoanku

Bintang dengan lambang kambing jelas tergambar pada watak sulungku, M Syafar Fauzan ini. Keras, sulit diberitahu (karena punya prinsip sendiri), tapi bijaksana. Bahkan dalam beberapa kondisi tertentu ia selalu berusaha menyeimbangkan segala hal. Memusatkan dirinya di tengah-tengah, membuat dua sisi seimbang, membuat kedua belah pihak merasa enak posisinya tanpa ada yang merasa dirugikan. Dibanding dengan diriku jelas jauh berbeda. Aku harus diam dulu untuk menyeimbangkan emosi, menenangkan diri, barulah proporsi sama panjang dan sama lebar untuk masalah yang ada tampak, dan saat itulah kebijaksanaan muncul. Satu persamaan antara kami, sama-sama bisa langsung meledak kalau sudah tak kuat memendam kesabaran.

Sepanjang hidupku rasanya sulit memaafkan diri sendiri karena belum bisa memberikan yang terbaik untuk putra pertamaku ini. Maksud hati ingin selalu berada di sisinya, tapi lagi-lagi cerita langit lebih memonopoli. Sakit menahun membuatku harus menitipkannya pada ibu. Kemudian begitu banyak cerita yang menghalangi niatku merengkuhnya, menemani hari-hari. Hingga ada satu takdir yang menyatakan aku harus mendampingi kedua pangeranku di hari-hari belajarnya. Takdir yang membuatku harus menepis semua rasa sakit demi janji pada langit di setiap doa. Tak ada yang lebih membahagiakan selain memberikan yang terbaik untuk keduanya, meskipun harus menahan lapar hingga seharian pun.

Sayangnya, lagi-lagi aku hanya bisa berencana, penyakit kembali menyerang di titik terlemahku. Kehilangan Papa dan segala beban dalam hidup membuatku kembali terhempas. Aku menangis? Tentu saja, sekencang mungkin, tapi tidak tampak di mata manusia. Keputusan terberat kedua setelah memutuskan mundur dari ikatan pernikahan adalah mengundurkan diri dari pekerjaan. Kesehatan yang kian memburuk memaksaku mengambil keputusan berani meskipun taruhannya masa depan yang tak pasti. Lagi-lagi, di tengah rasa sakit dan takut, kepasrahan akan garis yang ditorehkan langit membuatku yakin masa yang akan datang takkan semenakutkan itu.

Keputusan berani itu berimbas besar pada kehidupan kami. Setelah mencoba berkali-kali bekerja dan tetap saja masalah kesehatan yang jadi kendalanya, akhirnya aku memutuskan rehat sejenak dan menjeda semua. Masalah yang bertubi-tubi ternyata berdampak besar pada psikis sulungku, sedih rasanya menyaksikan ia harus ikut menjalani kehidupan dunia yang tidak biasa. Aku tahu ia sedih dan butuh waktu untuk menerima. Selama proses penerimaan itu sulungku berubah jadi tertutup. Aku tahu ia marah, tapi tak bisa menyalahkan siapa pun. Tak menutup mata, aku berusaha bangkit dan tak patah semangat mencari pengharapan. Beberapa kali sepertinya jalan akan terbuka, tapi pada akhirnya buahnya terjatuh tanpa sempat matang. Aku harus menerima beberapa kali kegagalan lagi dalam pekerjaan.

Sedih, karena hanya Allah yang tahu maksud aku yang sebenarnya. Aku hanya ingin memberi banyak pada anak-anak, membahagiakan mereka dengan segenap hati. Sulungku paham dengan bertubi ujian yang ibunya hadapi ini. Alhamdulillah, pemahaman tersebut mengarahkannya lebih dekat pada Allah. Ia tak tahu, kesabaran dan proses penerimaannya telah membuat satu bagian dalam diriku makin berontak. Tidak pada takdir langit, tapi lebih kepada tak ingin berputus asa.  Berpegang pada keyakinan serta prasangka baik pada Allah, aku bertekad mengubah segalanya meskipun harus meninggalkan bumi kelahiran. Dan disinilah aku, jauh di perantauan, merajut helai demi helai  benang harapan demi membuka jalan pengharapan. Meskipun terjatuh atau dijatuhkan tak pernah aku lupa berdiri. Sulungku tak sadar kalau telah menjadi tonggak kedua yang menguatkan hati dan kakiku untuk terus berjalan menyusuri kehidupan. Maafkan ibumu ini yang tak pernah bisa menjadi seperti yang kau mau, Nak.

 

Kado Untuk Pahlawan, si Bungsu Penguatku

Tamparan terhebatku ketika harus merelakan bungsuku, M Alwan Nurafizi pergi. Kondisi kesehatan dan juga ekonomi yang masih belum membaik membuat dirinya bertindak berani. Ia mengerti keadaan ibunya yang masih serba sulit hingga berbijaksana hati mengalah. Bungsuku rela mengorbankan hati demi masa depan, sebuah keputusan berat yang diambilnya karena keadaan. Berat untuk kami berdua, berat juga untuk keluarga besar. Tak pernah ada yang tahu kisah sesungguhnya, hanya langit yang menyaksikan dan masih tetap bungkam hingga kini. Hanya Allah yang tahu betapa berat aku menjalani hari-hari tanpa bungsuku. Ia yang selalu membuat tertawa dan menghibur harus tersamarkan jarak yang entah kapan memendek. Sempat aku limbung dan makin terpuruk. Tapi kemudian waktu yang membuat semua luka perlahan pudar.

Tekadku bulat, harus bangkit dari luka hati dan ekonomi. Banyak yang melihatku seperti sedang menikmati hidup karena banyak berkegiatan, padahal semua itu adalah proses healing-ku. Semakin sibuk, semakin lupa akan luka dan makin bersemangat mencari pengharapan. Namun, langit sungguh jeli menguji. Kemudahan silih berganti bertukar dengan kesulitan. Demikian seperti itu selalu, layaknya roller coaster, turun naik, berputar, berpelintir, lalu kembali bergerak lurus. Kecepatannya sering membuatku mendadak lemah dan lelah. Bukan malas, tapi lelah. Sering aku harus berhenti untuk memaknai semua yang terjadi. Lagi-lagi, ajaran Papa tentang keyakinan pada Allah dan jangan mudah berputus asa yang jadi penolongku.

Harapan terbesarku adalah merengkuh kembali si Bungsu ke dalam pelukan. Selalu nyaris hal itu terjadi, tapi kemudian selalu meleset kembali dari jalur pengharapan. Tak ada buruk sangka, karena aku tahu inilah bidak-bidak yang harus kulangkahi. Hanya tinggal memaknai langkah seperti apa yang akan diambil, jangan sampai salah menjejak, jangan sampai juga salah meninggalkan jejak. Aku tahu, bungsuku menyimpan duka yang dalam, siapa yang mau terpisah dari ibu sendiri? Pengharapannya aku akan menjemput dan kembali menjalani hari-hari penuh duka, luka, dan tawa. Aku tahu yang diinginkannya, karena seperti itu pula keinginanku. Karena itulah aku di sni, melipat duka menelan airmata, merajut harapan. Tak ada yang tahu cerita sesungguhnya, hanya langit saja yang paham. Karena itu jangan bertanya mengapa harus, mengapa bisa, mengapa dapat bertahan, tersebab langit penggenggam rahasianya, langit pula yang membukakan pintu-pintu  ajaibnya.

Membuang diri di perantauan demi hidup yang lebih baik, dan pengharapan bisa memberikan yang terbaik untuk bungsuku, untuk kedua pangeranku. Tak perlu ada yang tahu airmataku karena manusia hanya bisa mencela. Kado untuk pahlawan, bungsuku, engkau pantas menyandangnya. Tanpa kau sadari telah menjadi sumber kekuatanku untuk menyingkirkan rasa takut, menepis lelah, menelan duka. Maafkan ibumu yang masih belum bisa menjemputmu.

 

Kado untuk pahlawan, kusematkan kata-kata tersebut di dada tiga lelaki yang telah menjadi sumber inspirasi kekuatanku. Kuharap kalian, terutama dua pangeranku mendapatkan hadiah agar dapat menggapai cita-cita. Sejauh ini melangkah, kuyakin cahaya itu ada meski di tempat tergelap sekalipun. Papa dengan keteguhan dan kesabarannya menjalani hidup. Keyakinannya pada Allah, kebaikan hatinya menolong banyak orang tanpa pamrih wajib kumaknai, karena seperti itu pula tugas yang disematkan semesta padaku. Sulung dan bungsuku yang sama-sama menyimpan duka, membuatku menggugah diri untuk terus membuat pengharapan baru. Walaupun berat, meskipun berkali-kali dijatuhkan, aku takkan pernah patah. Langit terlalu berbudi untuk menghina, semesta terlalu perkasa untuk melemahkan, Allah terlalu Maha Pengasih dan Penyayang untuk mengabaikan. Wallahualam, manusia tetap manusia, hanya bisa berencana. Aku takkan pernah tahu di titik mana perhentiannya, terima kasih telah menggugah kekuatanku, mengingatkanku ada sesuatu yang masih harus diperjuangkan.

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar